“Anda tidak bisa mengajarkan apa yang
Anda mau, Anda tidak bisa mengajarkan apa yang Anda tahu. Anda hanya
bisa mengajarkan siapa Anda” – Soekarno
Sebelum saya lebih jauh mengkaji tentang topic yang akan dibahas kali ini, maka saya akan berbagi tentang belajar. Ya, proses belajar
bagaimana otak menyerap informasi. Inilah yang seringkali diabaikan,
kita sebagai orangtua atau guru maunya seringkali “memaksa” anak
mengerti tentang sesuatu hal dan “jalankan” seperti computer, kasi
perintah dan tekan “ENTER”. Nah, kalo di manusia bukan ENTER tapi
“ENTAR” upsss…
Dari penelitian diberbagai belahan dunia
yang terus berkembang, hasil riset tentang tehnik penyerapan informasi
ke otak dibagi menjadi 5 tahap :
Dari informasi diatas mudah bagi kita untuk mengetahui cara yang paling efektif untuk mendidik karakter anak
bukan? Kalo mau hasil maksimal, dengan penyerapan diatas 50 % maka
metode mendidiknya harus disesuaikan dengan cara otak menyerap
informasi.
Tentunya cara itu adalah kombinasi
antara Melihat, Mendengar, Mengatakan dan Melakukan. Saya akan membagi 2
tahap penjelasan, yaitu:
1. Melihat dan Mendengar
Adalah proses belajar
yang ada contoh dan ada pengajarnya. Jika disekolah tentunya guru yang
akan bersuara, jika dirumah maka orangtua. Sebagai guru tentunya harus
memberikan contoh dan model karakter
yang dikehendaki anak didiknya bagaimana serta mengajarkan “how to
achieve”. Jadi pada dasarnya semua guru disekolah bisa menjadi guru pendidikan karakter, jika berkomitmen untuk menjadi contoh dan mau menjelaskan bagaimana agar siswa dapat memiliki karakter
seperti gurunya. Sama halnya orangtua yang ada dirumah, siswa hanya 30%
berada disekolah, 10-15 % lingkungan sosialnya dan sisanya dirumah.
Maka porsi terbesar adalah orangtua yang menjadi guru pendidikan karakter bagi anaknya.
Seorang anak dari bayi, dia tidak mengenal bahasa. Saat dia kecil dia belajar dengan melihat contoh, dia belajar jalan, membuka pintu, menyalakan tv, semuanya melihat. Dan proses belajar
seperti ini masih berlanjut pada kehidupan kita orang dewasa. Jadi
jangan anggap sepele dalam sikap dan perilaku kita untuk memberikan
contoh yang baik untum pendidikan karakter anak.
2. Mengatakan dan Melakukan
Ini terkait dengan peraturan dan system yang berlaku lingkungan belajar pendidikan karakter (sekolah dan rumah). Bagaimana peraturan disekolah dan dirumah selaras dengan tujuan pendidikan karakter.
Baiklah saya akan memberi contoh, di Indonesia, di Surabaya khususnya
saya masih bisa memberhentikan angkutan umum (metromini) sembarangan.
Dimana saya ada di jalan raya, saya lihat ada angkutan umum saya tinggal
angkat tangan saja maka amgkutan umum itu akan berhenti. Hal ini bisa
berlaku di Surabaya, tapi tidak di Singapura. Jika saya pindah ke
Singapura maka saya tidak bisa seenaknya saja memberhentikan angkutan
umum, ada tempat khusus dimana angkutan umum tersebut mau berhenti. Maka
perilaku saya akan berubah mengikuti aturan yang berlaku, saya akan ke
halte jika mau naik kendaraan umum.
Jadi dalam pendidikan karakter juga diperlukan seting macam ini juga, seting lingkungan untuk mendukung perilaku Melakukan
yang akhirnya akan terbiasa. Seperti ada pepatah bisa karena biasa,
sama seperti halnya aturan baru dalam berlalu lintas. Belakangan ini
banyak aturan baru sehingga jalan yang biasanya bisa 2 arah hanya satu
arah untuk keefektifan pengguna jalan dan menghindari kemacetan, jika
kita langgar maka tilang. Pertama terasa berat, setelah 1 bulan sudah
biasa, tidak ada beban lagi. Manusia adalah mahluk yang mudah
beradaptasi, terasa berat jika itu dijalankan terus menerus, maka
lama-lama terbiasa. Dalam melakukan pola ini jangan lupa memberikan
konsekuensi jika melanggar, tentunya konsekuensi yang mendidik dan tidak
merusak harga diri anak. Contoh: jika melanggar maka mainan kesukaan
anak akan disita 2 hari.
Dengan pendidikan karakter yang diterapkan secara sistematis dan berkelanjutan, seorang anak akan menjadi cerdas emosinya. Kecerdasan emosi
ini adalah bekal penting dalam mempersiapkan anak menyongsong masa
depan, karena seseorang akan lebih mudah dan berhasil menghadapi segala
macam tantangan kehidupan, termasuk tantangan untuk berhasil secara
akademis.
Namun bagi sebagian keluarga, barangkali proses pendidikan karakter yang sistematis di atas sangat sulit, terutama bagi sebagian orang tua yang terjebak pada rutinitas yang padat. Karena itu, seyogyanya pendidikan karakter
juga perlu diberikan saat anak-anak masuk dalam lingkungan sekolah,
terutama sejak play group dan taman kanak-kanak. Di sinilah peran guru,
yang dalam filosofi Jawa disebut digugu lan ditiru, dipertaruhkan.
Karena guru adalah ujung tombak di kelas, yang berhadapan langsung
dengan peserta didik.
Tidak ada komentar :
Posting Komentar